Opini  

Opini: PP Ekonomi Kreatif Melirik, Sambut Positif Trend Fashion Week?

Oleh: Musfira, S.pd

Kemunculan fenomena fashion week yang bermula di Citayam kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Selatan menjadi viral belakangan ini berkat adanya aksi yang tidak biasa dari para perkumpulan remaja sebab dilangsungkan di tengah jalanan, tepatnya di tempat penyebrangan zebra cross. Hal ini tentunya sangat menarik atensi berbagai pihak, baik dari masyarakat biasa khususnya para remaja sampai pada kalangan artis papan atas yang dari sejumlah media menanyangkan betapa mereka turut bersuka cita dalam meramaikan kegiatan tersebut.

CFW (Citayam Fashion Week) Seolah menjadi batu loncatan bagi para muda-mudi yang nampaknya sedang mengalami krisis identitas (sebab diketahui sebagian besar dari mereka adalah remaja yang telah putus sekolah) agar bisa eksis. Maka tidak heran sejumlah nama remaja yang awalnya tidak diketahui oleh khalayak, mendadak menjadi ramai diperbincangkan sebab laman berita media sosial tak hentinya memberitakan hal tersebut. Mirisnya, mereka akhirnya mendapat keeksisan yang menjadi dambaan melalui kegiatan yang nampaknya sarat akan nilai negatif dari berbagai perspektif sudut pandang.

Demam fashion week di jalan raya yang awalnya hanya santer di daerah Sudirman dan sekitarnya lambat laun akhirnya menyebar ke daerah lain seperti di Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Medan, Madiun, Sukabumi (Cibadak), Bandung hingga Makassar tepatnya di kawasan Central Point Of Indonesia (CPI). Hal ini menunjukkan betapa generasi dalam negeri saat ini begitu mudah membebek dan tertarik pada life style yang menggiring pada jurang kerusakan. Racun hedonisme ; memburu kesenangan fisik, hiburan, kehidupan yang tidak terikat dengan apapun, mencari materi dan mencita-citakan kepopularitasan.

Respon Pemerintah dan keterkaitan PP Ekonomi Kreatif terhadap fenomena Fashion Week

Pro-kontra dan komentar masyarakat yang beragam dengan adanya fenomena Fashion Week ini berujung pada pertanyaan, “bagaimana sebenarnya respon pemerintah ?” Mengutip dari Jakarta Kompas.com, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, Citayam Fashion Week berdampak positif bagi perekonomian. Menurut dia, Citayam Fashion Week memberikan dampak nyata kepada berbagai sektor, seperti UMKM kuliner dan creator konten. Di samping itu, pada media pemberitaan Antaranews.com Kepala Bidang Pemasaran dan Atraksi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta, Hari Wibowo megungkapkan bahwa fenomena Citayam Fashion Week yang bertempat di kawasan Dukuh Atas, Jakarta belakang ini, merupakan wadah kreativitas anak muda. Ia menilai anak muda yang terlibat dalam kegiatan fashion week tersebut perlu disediakan wadahnya.

Awalnya, sebagian kita mungkin merasa sedikit aneh ketika berita Citayam Fashion Week (CFW) mendadak viral. Pada akhirnya, tidak heran jika opini yang berkembang ternyata mengaitkan lahirnya PP Ekonomi Kreatif sebagai respon positif terhadap fenomena viral tersebut. Pasalnya pemerintah yang mengeluarkan PP no. 24/2022 mengenai Peraturan Pelaksanaan UU 24/2019 mengenai Ekonomi Kreatif. Beleid yang diteken Presiden Jokowi pada 12/07/2022 ini berisi mengenai (1) pembiayaan ekonomi kreatif, (2) fasilitasi pengembangan sistem pemasaran produk ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual, (3) infrastruktur ekonomi kreatif, (4) insentif bagi pelaku ekonomi kreatif, (5) tanggung jawab pemerintah dan/atau pemerintah daerah serta peran serta masyarakat dalam pengembangan ekonomi kreatif, dan (6) penyelesaian sengketa pembiayaan. (Kontan, 18/07/2022).

Baca Juga  Opini: Spirit Doll, Tren Kesesatan Yang Membahayakan Akidah Umat

Dalam PP tersebut pula dijelaskan bahwa ekraf merupakan perwujudan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia berbasis budaya, warisan, ilmu pengetahuan dan/teknologi. Sesaat setelah PP no.24/2022 terbit, Angela Tanoesoedibjo selaku Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif rupanya juga turut mengekspresikan suka citanya. Hal itu ia tunjukkan dalam salah satu unggahan akun instagram pribadinya, “Terbitnya PP 24/2022 menjadi satu langkah baik dalam akselerasi kemajuan ekonomi kreatif di Indonesia” ungkapnya.

Sedikit mencermati ke belakang, pada awal juni lalu hasil kolaborasi Pemerintah Kota Surakarta, Kedutaan Besar RI (KBRI) di Paris dan pihak Shoope yang menghadirkan program “Java In Paris” membawa ratusan produk lokal dari solo melantai di BHV Marais, Paris salah satu department store terbesar di Prancis yang merupakan bagian dari jaringan Galaries Lafayatte.

Ironisnya Format CF Week ini seolah adaptasi dari program “Java in Paris”. Antusiasme dan aksi para pejabat yang turut melantai di kawasan yang sama dengan CFW seolah menjadi legitimasi yang makin menderaskan pengaruh yang sebenarnya menyesatkan identitas kaum muda itu. Padahal, sudah seharusnya kita akui, bahwa semua itu jelas pengaruh negatif dalam jelamaan “narasi positif” sehingga dianggap sebagai suatu kreativitas. Di balik itu semua, ada krisis identitas yang begitu memilukan. Bagaimana tidak ? kaum muda yang sudah semestinya menjadi tonggak peradaban bangsa dalam perannya sebagai problem solve, malah begitu mudah tersesat dalam kubangan nikmat sesaat yang sejatinya mereka sedang menjadi trouble maker. Penguasa pun bukannya mencegah, malah memberi ruang kebebasan beserta fasilitasnya.

Keberadaan CFW pun tentu saja tidak hanya sekedar menjadi ajang para pemuda untuk melakukan aksi pamer gaya. Lebih dari itu, adanya pagelaran tersebut menjadikan remaja melihatnya sebagai peluang mendulang cuan. Terbukti dari beberapa media yang menanyangkan wawancara bersama para remaja di CFW. Dari mereka menuturkan bisa memperoleh 800.00 bahkan ada yang sampai 1 juta dalam sehari. Penghasilan tersebut mereka dapatkan dari ajakan ‘ngonten’ oleh para konten creator yang berbondong-bondong menyambangi tempat pagelaran model itu dilangsungkan.

Kondisi ini sungguh menampakkan betapa pragmatisnya cara berpikir kaum muda tersebut. Lagi-lagi motif ekonomi mendominasi tindakan gaje (enggak jelas) yang telah mereka lakukan.
Padahal, sebagai aset terbesar sebuah Negara harusnya para remaja mendapatkan perhatian khusus, disadarkan akan peran yang sesugguhnya harus mereka jalani. Bukan malah membiarkan meraka pada jalan yang tidak jelas arah tujuannya. Dari fenomena ini pun, sudah semestinya menjadi tamparan keras bagi Penguasa atas kegagalannya dalam membangun sistem pendidikan yang mampu mengidentifikasi jati diri generasi muda.

Baca Juga  Penulis Artikel Opini Harus Berani dan Percaya Diri

Selama ini lembaga pendidikan tak ubahnya hanya dijadikan instrument bisnis semata, biaya sekolah terbaik yang menjadi dambaan para orang tua cukup membuat menjerit oleh fantastisnya nominal. Belum lagi polemik sistem Zonasi, kurikulum yang terus berganti tanpa memberi impact yang benar-benar positif bagi para peserta didik dan makin mengerucutnya berbagi problem dalam dunia pendidikan.

Namun ketika menerbitkan kebijakan-kebijakan itu, termasuk PP Ekonomi Kreatif, sepertinya penguasa minim pertimbangan dan tidak memperhitungkan eksesnya. Karena sejatinya kebijakan-kebijakan yang diputuskan pada akhirnya terbukti tidak mampu menyelesaikan akar permasalahan generasi muda.

Selamatkan Pemuda

Sudah saatnya siapapun harus peduli dengan nasib umat dan negeri ini ke depannya, berusaha menyelamatkan kaum muda yang ada di dalamnya. Sebab mereka adalah agent of change di tengah masyarakat. Tidak ada perubahan tanpa melibatkan dan tanpa dilakukan oleh pemuda, hal itu terjadi karena mereka adalah kaum yang cerdas dan lebih mudah menerima petunjuk dibandingkan orang yang sudah tua.

Para nabi dan rasul juga merupakan orang-orang berusia muda saat diangkat menjadi utusan Allah. Ibnu Abbas pernah menyatakan, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan pemuda. Seorang alim tidak diberi ilmu pengetahuan oleh Allah melainkan pada waktu masa mudanya.”Oleh karena itu, sejumlah langkah harus dilakukan oleh kaum Muslim untuk menyelematkan para pemuda dari ideologi yang rusak sekularisme-kapitalisme, sekaligus mencetak kader pemuda yang cerdas dan bermental Mujahid.

Pertama, mengokohkan akidah islam sebagai landasan berkehidupan baik di dunia dan akhirat. Para pemuda disadarkan bahwa mereka adalah hamba ciptaan Allah dan kelak akan kembali pada-Nya. Dengan dasar akidah yang kuat para pemuda akan lebih menyadari prinsip hidup-mati mereka hanya tertuju pada Allah Ta’ala.

Kedua, memahamkan pemuda bahwa tujuan hidup yang tertinggi yakni menggapai ridha Allah Ta’ala semata. Caranya dengan menaati semua aturan-aturan-Nya dan ikut andil memperjuangkan agama-Nya termasuk dalam kegigihan untuk menuntut ilmu sebagai langkah awal perbaikan diri dan umat lain. Sebaliknya Dunia bukan tujuan daripada hidup dan hanya berfungsi sebagai sarana untuk menggapai ridha Allah Ta’ala. Inilah kebahagiaan hakiki dari seorang muslim.

Ketiga, mendorong Pemuda agar memiliki kepedulian terhadap kondisi umat serta menjadikan mereka pejuang dakwah yang akan memperjuangkan tegaknya agama Allah Ta’ala. Bukan pemuda egois yang pada setiap lini kehidupan hanya memikirkan pribadinya saja dan tidak peduli terhadap kondisi umat, sebab Allah membutuhkan mereka; para pemuda yang mau berjuang di jalan Allah Ta’ala (Lihat QS.As-Saff : 61).

Melihat semakin kompleksnya masalah di negeri ini termasuk salah satunya problematika generasi muda, telah menunjukkan fakta bahwasanya solusi yang selama ini diterapkan, yaitu solusi dari kapitalisme, liberalisme, dan sosialisme, telah gagal dan tidak mampu menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah lain. Kita harus segera mengoreksi bahwa sistem yang selama ini diterapkan telah gagal.

Baca Juga  Internalisasi Antikorupsi Dalam Keluarga Melalui Ibadah Kurban

Sekali lagi, potret kegagalan itu pula dapat kita buktikan secara nyata. Bagaimana sistem yang ada hari ini berusaha mengatasi problematika yang terjadi di tengah remaja namun dalam waktu yang bersamaan juga selalu memunculkan masalah baru. Olehnya tidak heran, saat generasi yang berasal dari sistem yang rusak akan menghasilkan sesuatu yang rusak pula persis seperti yang kita saksikan saat ini, kebanyakan dari remaja kita memiliki cara berpikir dan mentalitas yang rapuh, mudah berubah dan tidak berprinsip teguh.

Namun akan berbeda ketika syariat Islam diterapkan dalam bernegara, tinta emas sejarah telah mengisahkan bagaimana negara Islam menghasilkan generasi muda yang memiliki kegemilangan di berbagai bidang yang berlangsung selama lebih dari 13 abad lamanya.

Banyaknya pemuda hebat dalam islam di antaranya sebut saja, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (767-820 M) yang membuat beliau luarbiasa, adalah bahwa hidup beliau sangat sederhana, namun kekurangan finansial itu tidak membuat Imam Asy Syafi’i gentar untuk belajar. Beliau lahir sebagai yatim, dan di usia 2 tahun ibunya membawanya dari Palestina ke Makkah. Usia 7 tahun beliau sudah menghafal Al Qur’an dan usia 10 tahun sudah menghafal Kitab hadits Al Muwatha’ karya Imam Malik. Di usia 15 tahun, Imam Asy Syafi’i sudah menguasai banyak ilmu pengetahuan yang membuat Ulama besar Makkah, Muslim bin Khalid Az Zanji mengizinkan Asy Syafi’i memberikan fatwa kepada masyarakat. Bayangkan, usia beliau masih 15 tahun!

Kemudian ada lagi, Muhammad bin Ismail Al Bukhari (810-870) Siapa yang tak kenal dengan Penulis Kitab paling shahih setelah Al Qur’an ini. Beliau bukan tinggal di Arabia, namun pemahaman dan wawasannya tentang hadits luarbiasa. Di usia 18 tahun, sudah menulis buku penting berjudul At Tarikh Al Kabir. Berguru pada 1080 Ulama, mengembara 16 tahun demi mengumpulkan hadits shahih, mengelilingi sebagian Asia dan Afrika, menghafal ratusan ribu rawi, dari yang kuat nan adil sampai yang lemah dan bermasalah. Semua itu dengan visi yang sungguh-sungguh; untuk Allah, Rasulullah, dan Umat Muhammad. Dan masih banyak pemuda-pemuda serupa hasil dari didikan sistem islam, semisal Muhammad bin Qasim At-Tsaqafi, Abdurrahman Ad-Dakhil dan Harun Ar-Rasyid.

Mereka semua adalah pemuda yang tingkat kecerdasan dan kreatifitasnya sudah tidak dipertanyakan lagi. Dari para pemuda hebat tersebutlah mestinya kita belajar bahwa, bersegera menerapkan solusi yang diberikan Allah kiranya menjadi pilihan dan langkah yang sangat tepat, karena Allah menjamin penerapan aturan Allah saja yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, yaitu penerapan hukum-hukum Islam secara kaffah akan menuntaskan masalah, menghindarkan dari musibah, siksa, krisis dan ancaman kehancuran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *