Oleh Widiawati, S.Pd
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Muslimah)
Indonesia negeri kaya nan subur, dari Sabang sampai Merauke, hamparan daratan dan laut yang menyejukkan mata bagi yang memandangnya. Tapi sayang seribu sayang, ini hanya sebuah ilusi bagi kesejahteraan rakyatnya.
Kemiskinan sudah menjadi momok menakutkan di negeri yang julukannya negeri khatulistiwa. Anak ayam kerap mati di lumbung padi, begitulah fakta miris yang sedang di alami negeri ini. Data Badan Ketahanan Pangan (BPK) menunjukkan, banyak keluarga yang menghabiskan lebih dari 65% pengeluarannya untuk kebutuhan makan pada 2021, pangsa rumah tangga dengan pengeluaran pangan yang dominan berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan suatu kota atau kabupaten, walaupun ada fakta lain di beberapa daerah yang berbeda.
Kenaikan harga komoditas pangan saat ini tentu sangat berimbas pada kondisi ekonomi rakyat, terkhusus masyarakat kelas menengah ke bawah, hal ini di ungkapkan oleh salah satu anggota komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin
“ Saya meyakini kenaikan harga Komoditas strategis pangan dan energi ini telah berdampak luas pada rakyat Indonesia terutama terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah.” (JPNN.com, 4/4/2022)
Karenanya, fakta ini tentu menambah deretan panjang derita rakyat. Berbagai masalah terus menghampiri dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, pemangkasan subsidi BBM, tarif listrik yang merangkak naik, BPJS kesehatan yang membebani, biaya pendidikan selangit, carut marutnya kondisi politik di negeri ini. Lalu akan ke mana rakyat menggantungkan harapan agar keluar dari peliknya kondisi yang ada?
Belum lagi pemerintah yang ada saat ini, terkesan abai terhadap derita rakyat, kesejahteraan rakyat justru bukan prioritas utama yang harus di tangani, bagaimana tidak, di tengah carut marutnya ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19, pemerintah justru fokus kepada pemindahan IKN yang justru menyerap dana fantastis. Maka wajar jika banyak yang mempertanyakan peran penguasa saat ini, betulkah mereka ada demi kepentingan rakyat, jangan-jangan ini hanya sebuah jargon “ilusi” untuk menarik simpati rakyat ketika suara mereka dibutuhkan pada saat pemilu.
Inilah potret suram kepemimpinan dalam sistem kapitalisme, rakyat tidak menjadi prioritas utama. Dalam mengurusi rakyat, pemerintah terkesan hitung-hitungan, tentu hal ini tidaklah terbentuk dengan sendirinya, sebab dalam sistem kapitalis standar utama adalah untung rugi, jadi wajar jika sistem yang ada saat ini melahirkan para penguasa yang kerap menyulitkan rakyat dengan dalih menekan beban APBN karena anggaran untuk subsidi kepada rakyat tidak sedikit. Tapi hal ini berbanding terbalik jika untuk kebutuhan para wakil rakyat, seperti yang terbaru anggaran gorden rumah dinas para wakil rakyat yang cukup fantastis tidaklah menjadi masalah atau beban APBN, justru dianggap urgen yang wajib segera direalisasikan, hal ini berbeda dengan kebutuhan rakyat yang jelas-jelas urgen.
Apa yang di alami rakyat saat ini tentu berbanding terbalik jika sistem Islam di terapkan. Penguasa akan berupaya semaksimal mungkin mengurusi urusan rakyatnya. Sebab, ia sadar bahwa amanah yang di emban tidaklah mudah, akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt. di Yaumil akhir kelak. Karena faktor itulah para penguasa pada zaman khilafahan berupa agar rakyat tidak mengalami kesulitan terutama secara ekonomi, hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw. “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.”(HR. Muslim)
Karenanya, dalam Islam di terapkan sistem ekonomi berbasis syariah, tidak bertumpu pada utang Ribawi dan juga pajak. Baitul Mal akan memaksimalkan pos pemasukan dari berbagai sumber seperti kharaj, rikaz, zakat dan lain-lain. Sementara untuk pengeluaran, negara akan merinci secara detail pos mana saja yang urgen di butuh kan rakyat, maka hal itu menjadi prioritas utama yang akan dipenuhi.
Sementara untuk pengelolaan lahan, negara akan mengondisikan, lahan mana saja yang bisa di gunakan untuk pemukiman dan pertanian. Negara akan mensuplai para petani agar maksimal dalam menggarap lahannya. Jika di temui ada lahan yang tidak produktif, di biarkan kosong selama 3 tahun oleh pemilik nya, maka negara akan mengambil alih lahan tersebut kemudian akan diberikan kepada warga yang mau menggarap tanah pertanian tersebut. Oleh karena itu, tidak akan ditemui ada lahan kosong yang tidak produktif dalam daulah Islam, dan tidak ada alasan bahan pangan tidak terpenuhi karena Kurangnya pasokan dalam negeri, atau petani tidak mampu memenuhi pasokan pangan dalam negeri sehingga menjadi alasan pemerintah melakukan impor pangan dari negara tetangga.
Dari sini jelaslah bahwa, sistem yang bersumber dari Islam sudah tentu mampu menuntaskan problematika yang di hadapi umat saat ini, kesejahteraan rakyat bukan ilusi semata namun fakta nyata yang telah terbukti ketika sistem Islam di terapkan sebagaimana yang pernah di contohkan ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin, terbukti mampu menuntaskan kemiskinan selama masa jabatannya yang terbilang singkat yaitu kurang lebih dua tahun lamanya.
Wallahu a’alam bish ash-shawab